KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IBNU SINA
Posted on 3 Maret 2012 by alhafizh84
Nama
lengkapnya adalah Abu ’Ali al-Husyn ibn Abdullah. Penyebutan nama ini
telah menimbulkan pebedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah.
Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersesut diambil dari bahasa
latin, Avin Sina, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut
diambil dari kata Al-Shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain
itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan
dengan nama tempat kelahirannya, yaitu Afshana.[1]
Dalam
sejarah pemikiran islam, Ibnu Sina di kenal sebagai intelektual muslim
yang banyak mendapat gelar. Ia lahir pada tahun 370 H. bertepatan dengan
tahun 980 M, di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat bukhara,
di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Belkh, suatu kota
yang termasyhur dikalangan orang-orang Yunani, kota tersebut sebagai
pusat kegiatan polotik, juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan
keagamaan.
Adapun
Ibu Ibnu Sina bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk
wilayah Afganistan. Namun demikian, ia ada yang menyebutkan sebagai
berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 M, wilayah Afganistanini
termasuk daerah Persia.
Tampilnya
Ibnu Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal didukung oleh tempat
kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal
sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa.
Sejarah mencatat, bahwa Ibnu Sina melalui pendidikannya pada usia lima
tahun di kota kelahirannya Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali ia
pelajari ialah membaca al-qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan
mempelajari ilmu-ilmu agama islam seperti tafsir, fiqh, ushuluddin dan
lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal
al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang
belum genap sepuluh tahun.
Ibnu Sina banyak kaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu.
Menurut Ibnu Sina terbagi menjadi 2, yaitu:
ilmu yang tak kekal
ilmu yang kekal
ilmu yang kekal
ilmu
yang kekal dari peranannya sebagai alat dapat disebut logika. Tapi
berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis
dan ilmu yang teoritis.[2]
Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mendidik Ibnu Sina diantaranya:
Mahmud al-Massah (ahli matematika)
Abi Muhammad Ismail ibn al Husyaini (ahli fiqh)
Abi Abdillah an-Natili (ahli manthiq dan falsafah)
Abi Muhammad Ismail ibn al Husyaini (ahli fiqh)
Abi Abdillah an-Natili (ahli manthiq dan falsafah)
Selanjutnya
dengan cara otodidak, ibnu sina mempelajari ilmu kedokteran secara
mendalam, hingga ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada
zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya melakukan penelitian dan
praktek pengobatan. Berkenaan dengan ini sebagian para penerjemah
menduga bahwa ibnu sian mempelajari ilmu kedokteran dari ‘Ali abi Sahl
al-Masity dan Abi mansur al-Hasan ibn Nuh al-Qamary. Dengan cara
demikian, ilmu kedokteran mengalami perkembangan yang didukung oleh
keluasan teori dan praktek.
Upaya
memperdalam dan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahhuan dilanjutkan
ibnu sina pada saat ia memperoleh kesempatan menggunakan perpustakaan
milik Nuh bin Mansyur yang pada saat itu menjadi sultan di Bukhara.
Kesempatan tersebut terjadi karena jasa ibnu sina yang berhasil
mengobati penyakit Sultan tersebut hingga sembuh.
Dengan
menenggelamkan diri dalam membaca buku-buku yang terdapat dalam
perpustakaan tersebut, Ibnu Sina berhasil mencapai puncak kemahiran
dalam ilmu pengetahuan. Tidak ada satupun cabang i9lmu pengetahuan yang
tieda dipelajari. Hampir setahun lamanya ia membaca dan menelaah
buku-buku yang terdapat perpustakaan tersebut, sampai datang musibah
yang memutuskan semua harapannya, yaitu terjadinya kebakaran pada
perpustakaan tersebut hingga memusnahkan buku-buku yang ada di dalamnya.
Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samawi yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakaan itu mengatakan demikian.
“
semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak
buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku
sendiripun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya
lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal
mungkin memanfaatkannya. Ketika usia ku menginjak usia 18 tahun, aku
telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu. “ ibnu Sina menguasai
berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai
cabangnya.
Dalam
bidang karir dan pekerjaan yang pertama kali ia lakukan adalah seperti
orang tuanya, yaitu membantu tugas-tugas pangeran Nuh bin Mansur. Ia
misalnya diminta menyusun kumpulan pemikiran filsafat oleh Abu al-Husain
al- ‘Arudi. Untuk ini ia menyusun buku al-majmu’. Setelah ia menulis
buku al-Hasbil wa al-Manshul dan al-Birr wa al-Ism atas permintaan Abu
Bakar al-barqy al-Hawarizmy.
Selanjutnya
ketika Ibnu Sina berusia 22 tahum ayahnya meninggal dunia, dan kemudian
terjadi kemelut politik di tubuh pemerintahan Nuh bin Mansur dan Abd
Malik saling berebut kekuasaan, yang dimenangkan Abdul Malik.
Selanjutnya dalam keadaan pemerintahan yang belum stabil itu datang pula
serbuan dari kesultanan Mahmud Al-Ghaznawi, sehingga seluruh wilayah
kerajaan tsamani yang berpusat di Bukhara jatuh ketangan penyerbu itu.
Dalam
keadaan situasi politik yang kurang menguntungkan itu, Ibnu Sina
memutuskan diri untuk pergi meninggalkan daerah asalnya. Ia pergi ke
karkang yang termasuk ibu kota Al-Khawarizm. Di kota ini, ibnu sina
berkenalan dengan sejumlah pakar seperti Abu Al-Khair Al-Khamar, Abu
Sahl ‘Isa bin yahya Al-Masity Al-Jurjani, Bu Ar-Rayhan Al-Biruni dan Abu
Nashr Al- ‘Iraqi. Setelah itu ibnu sina melanjutkan perjalanan ke Nasa,
Abiwarud, Syaqan, Jajarin dan terus ke Jurjan. Ibnu sina berkesempatan
untuk menyelesaikan beberapa karya tulisnya seperti kitab As-Syifa,
An-Najab dan Al-Qanun fi Al-thibb.
Setelah
itu ibnu sina terserang penyakit Colic dan karena keinginannya untuk
sembuh demikian kuat, sehingga ia pernah minta obat sampai delapan kali
dalam sehari. Sekalipun jiwanya terancam karena penyakitnya, ia masih
tetap aktif menghadiri sidang-sidang majelis ilmu di Isfhana. Ibnu sina
juga dikenal sebagai seorang ulama yang amat produktif. Buku-buku
karangannya hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengatahuan,
diantaranya: ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika,
politik dan satra arab.
Karya
Ibnu Sina dalam bidang kedokteran antara lain Al-Qanun fi Al-Thibb.
Dalam bidang filsafat As-Syifa dan An-Najab. Dalam bidang fisika Fi Asam
al-‘alum al-‘aqliyah. Bidang logika Al-Isaquji. Bidang bahasa Arab
Lisan Al-‘Arab.
Adapun dalam bidang agama dibagi menjadi 4 cabang, yakni:
Ilmu Akhlak
Ilmu cara mengatur rumah tangga
Ilmu tata negara
Ilmu tentang kenabian
Ilmu cara mengatur rumah tangga
Ilmu tata negara
Ilmu tentang kenabian
Dalam
ilmu politik ini juga termasuk ilmu pendidikan, karena ilmu pendidikan
merupakan ilmu yang berada pada garis terdepan dalam menyiapkan
kader-kader yang siap untuki melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Konsep Pendidikan Ibnu Sina
1. Tujuan Pendidikan
Menurut
Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan
seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang
sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain
itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya
mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara
bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya
sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang
dilmilikinya.
Khusus
pendidikan yang bersifat jasmani, ibnu sina mengatakan hendaknya tujuan
pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang
berkaitan dengannya seperti olah raga, makan, minum, tidur dan menjaga
kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk
mencapai kebahagiaan (sa’adat).
Melalui
pendidikan jasmani olahraga, seorang anak diarahkan agar terbina
pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan
budi pekerti di harapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun
dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dan dengan pendidikan kesenian
seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya
hayalnya.
Ibnu
Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan
yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dsb.
Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional yang mampu
mengerjakan pekerjaan secara professional.
Selain
itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak
didasarkan pada pandangannya tentang Insan Kamil (manusia yang
sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh potensi diinya secara
seimbang dan menyeluruh. Selain harus mengenbangkan potensi dan bakat
dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia
agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di masyarakat.
2. Kurikulum
Secara
sederhana istilah kurikulum digunakan untuk menunjukkan sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai satu gelar atau ijazah.
Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow yang mengatakan
bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isisnya sejumlah mata
pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat
untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.[3]
Kurikulim
disini berfungsi sebagai alat mempertemukan kedua pihak sehingga anak
didik dapat mewujudkan bakatnya secara optimal dean belajar
menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan mutu kehidupan dalam
masyarakatnya.[4]
Konsep
Ibnu Sina tentang kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia
anak didik. Untuk usia anak 3 sampai 5 tahun misalnya, menurut Ibnu Sina
perlu diberikan mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni
suara, dan kesenian.[5]
Pelajaran
olahraga tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan
fisik si anak dan berfungsinya organ tubuh secara optimal. Sedangkan
pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak agar memiliki
kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya
dengan pendidikan kebersihan diarahkan agar si anak memiliki kebiasaan
mencintai kebersihan. Dan dengan pendidikan seni suara dan kesenian
diarahkan agar si anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta
meningkatkan daya khayalnya sebagaimana telah disinggung di atas.
Mengenai
mata pelajaran olahraga, Ibnu Sina memiliki pandangan yang banyak
dipengaruhi oleh pandangan psikologisnya. Dalam hubungan ini Ibnu Sina
menjelaskan ketentuan dalam berolahraga yang disesuaikan dengan tingkat
perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya. Dengan cara
demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja diantara anak didik yang
perlu diberikan pendidikan olahraga sekedarnya saja, dan mana saja
diantara anak didik yang perlu dilatih olah raga lebih banyak lagi. Ibnu
Sina lebih lanjut memperinci tentang mana saja olahraga yang memerlukan
dukungan fisik yang kuat serta keahlian dan mana saja olahraga yang
tergolong ringa, cepat, lambat, memerlukan peralatan dan sabagainya.
Menurutnya semua jenis olahraga ini disesuaikan dengan kebutuhan bagi
kehidupan anak didik.
Dari
sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu dimasukan kedalam
kurikulum adalah olahraga kekuatan, gulat meloncat, jalan cepat,
memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.
Mengenai
pelajaran kebesihan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pelajaran hidup berusia
dimulai dai sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika
hendak bangun kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui mana saja
anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak yang
berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Selanjutnya
kurikulum untuk usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibnu Sina adalah
mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-qur’an, pelajaran agama,
pelajaran sya’ir dan pelajaran olah raga.
Pelajaran
membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina berguna di samping untuk
mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-qur’an,
juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama islam seperti
pelajaran Tfasi Al-Qur’an, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan pelajaran agama
lainnya yang sumber utamanya Al-qur’an. Selain itu pelajara membaca dan
menghafal Al-Qur’an juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa
arab, karena dengan menguasai Al-Qur’an berarti ia telah menguasai kosa
kata bahasa arab atau bahasa Al-qur’an.dengan demikian penetapan
pelajaran membaca Al-qur’an tampak bersifat startegis dan mendasar, baik
dilihat daru segi pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun dari segi
pembentukan ilmuwan muslim, sebagaimana yang diperlihatkan Ibnu Sina
sendiri. Sudah menjadi alat kebiasaan umat islam mendahulukan pelajaran
Al-Qur’an dari yang lain-lain.
Hikmahnya :
untuk mengambil berkat dan mengharapkan pahala
khawatir kalau anak-anak tidak terus belajar lalu keluar sebelum sampai membaca/ menghafal al-qur’an. Akhirnya anak-anak tidak mengenal al-qur’an sama sekali.[6]
khawatir kalau anak-anak tidak terus belajar lalu keluar sebelum sampai membaca/ menghafal al-qur’an. Akhirnya anak-anak tidak mengenal al-qur’an sama sekali.[6]
Selanjutnya
kurikiulum untuk usia 14 tahun ke atas menurut Ibnu Sina mata pelajaran
yang diberikan amat banyak jumlahnya, namun pelajaran tersebut perlu
dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak. Ini menunjukkan perlu
adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, si
anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan
baik. Ibnu sian menganjurkan kepada para pendidikagar memilihkan jenis
pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat
dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya.
Kedua,
bahwa startegi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibnu Sina juga
didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional, yakni
dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari
dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing
oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap
difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada dimasyarakat.
Ketiga,
strategi pembentukan kurikulum Ibnu Sina tampak sangat dipengaruhi oleh
pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Pengalaman pribadinya dalam
mempelajari berbagai macam, ilmu dan keterampialan ia coba tuangkan
dalam konsep kurikulumnya. Dengan kata lain, ia menghendaki agar setiap
orang yang mempelajari berbagai ilmu dan keahliaan menempuh sebagaimana
cara yang ia lakukan.
Dengan
meliha cirri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa konsep kurikulum Ibnu
Sina telah memenuhi persyaratan penyusunan kurikulum yang dikehendaki
masyarakat modern saat ini. Konsep kurikulum untuk anak 3 sampai5 tahun
misalnya, tampak masih cocok untuk diterapkan dimasa sekarang, sepeti
pada kurikulum Taman Kanak-Kanak.
Metode Pengajaran
Konsep
metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap
materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran Ibnu Sina
selalu membicarakan tentang cara mengajarkan kepada anak didik.
Berdasarkan pertimbangan psikologinya, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu
materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada
bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai
dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Penyampaian
materi pelajaran pada anak menurutnya harus disesuaikan dengan sifat
dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara metode dengan materi
yang diajarkan tidak akan kehilangan daya relevansinya. Metode
pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain metode talqin,
demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi magang, dan penugasan.
Yang
dimaksud dengan metode talqin dalam cara kerjanya digunakan untuk
mengajarkan membaca al-qur’an, dimulai dengan cara memperdengerkan
bacaan al-qur’an kepada anak didik sebagian demi sebagian. Setelah itu
anak tersebut disuruh mendengarkan dan disuruh mengulangi bacaan
tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang hingga hafal. Cara
seperti ini dalam ilmu pendidikan modern dikenal dengan nama tutor
sebaya, sebagaimana dikenal dalam pengajaran dengan modul.
Selanjutnya
mengenai metode demontrasi menurut Ibnu Sina dapat digunakan dalam cara
mengajar menulis. Menurutnya jika seorang guru akan mempergunakan
metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf
hijaiyah di hadapan murid-muriodnya. Setelah itu barulah menyuruh para
murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyyah sesuai dengan
makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
Berkenaan
dengan metode pembiasaan dan teladan, Ibnu Sina mengatakan bahwa
pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling
efektif, khususnya dmengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum
dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan denganm
perkembangan jiwa si anak, sebagaimana hal ini telah disinggung pada
uraian diatas.
Selanjutnya
metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran dimana
siswa dihadapkan pada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang
bersifat problematic untuk dibahas dan dipecahkan bersama.
Berkenaan
dengan metode magang, Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam
kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibnu Sina yang
mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan
praktek. Yaitu satu hari diruang kelas untuk mempelajari teori dan hari
berikutnya mempraktekan teori tersebut dirumah sakit atau balai
kesehatan.
Selanjutnya
berkenaan dengan metode penugasan adalah cara penyajian bahan pelajaran
dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan
belajar. Dalam bahasa arab pengajaran dengan penugasan ini dikenal
dnegan istilah at-ta’iim bi al-marasil ( pengajaran dengan mengirimkan
sejumlah naskah atau modul ).
Dalam keseluruhan urasian mengenai metode pengajaran tersebut diatas terdaoat empat cirri penting, yakni:
uraian
tentang berbagai metode tersebut memperlihatkan adanya keinginan yang
besar dari ibnu sina terhadap keberhasilan pengajaran.
setiap metode yang ditawarkannya selalu dilihat dalam presfektif kesesuaiannya dengan bidang studi yang diajarkannya serta tingkat usia peserta didik.
metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu memperhatikan minat dan bakat si anak didik.
metode yang ditawarkan ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingka perguruan tinggi.
setiap metode yang ditawarkannya selalu dilihat dalam presfektif kesesuaiannya dengan bidang studi yang diajarkannya serta tingkat usia peserta didik.
metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu memperhatikan minat dan bakat si anak didik.
metode yang ditawarkan ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingka perguruan tinggi.
Cirri-ciri
metode tersebut hingga sekarang masih banyak digunakan dalam kegiatan
belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Sina dalam
bidang metode pengajaran masih relevan dengan tuntutan zaman.
4. Konsep Guru.
Konsep
guru yang idtawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang
baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik
adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akh;ak, cakap
dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan
main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, dan
suci murni.
Lebih
lanjut Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya darikaum
pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar,
telaten dalam membingbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan
waktu, gemar bergaul dengan anak-anak dll.
Berkenaan
dengan tugas pendidikan, maka tugas seorang guru tidaklah mudah. Sebab
pada hakekatnya tugas pendidikan yang utama adalah membentuk
perkembangan anak dan membiasakan kebiasaan yang baik dan sifat-sifat
yang baik menjadi factor utama guna mencapai kebahagiaan anak, oleh
karena itu orang yang ditiru hendaklah menjadi pemimpin yang baik,
contoh yang bagus dan berakhlak hingga tidak meninggalkan kesan buruk
dalam jiwa anak yang menirunya.[7]
Jika
diamati secara seksama, tampak bahwa potret guru yang dikehendaki Ibnu
Sina adalah guru yang lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan
para ahli sebelumnya. Dalam pendapatnya itu Ibnu Sina selain menekankan
unsure kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian
yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan
anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan
akhlak ia dapat membina mental dan akhlak anak.
5. Konsep Hukuman dalam Pengajaran
Ibnu
Sina pada dasarnya tidak berkenan menggunakan hukuman dalam kegiatan
pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai
martabat manusia. Namun dalam keadaan terpaksa hukumanm dapat dilakukan
dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari sepenuhnya, bahwa
manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak suka
diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar
pandangan kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan
hukuman.
Penggunaan-penggunaan
bantuan tangan adalah pembantu paling diandalkan dan merupakan seni
bagi seorang pendidik. Dengan ada control secara terus-menerus, maka
mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan sesuai dengan tujuan
pendidikan.[8]
Ibnu
Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-hati,
dan hal itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak
normal. Sedangkan dalam keadaan normal, hukuman tidak boleh dilakukan.
Sikap humanistic ini sangat sejalan dengan alam demokrasi yang menuntut
keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan sebagainya.
[1] Sayyed Hosain, Tiga Madzhab Ulama Filsafat Islam,(Yogyakarta, IRCisod,2006) hal.27
[2] jalaluddin & Drs. Usman Said, Filsafat Pend. Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo,1999 hal.136
[3] Crow dan Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan,(Yogyakarta:Rake sarasin, 1990), Edisi III hal.75
[4] Dr. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, kalam Mulia, Jakarta,1994 hal.62.
[5] Ibn Sina, Kitab As-Syiasah Fi attarbiyah, ( Mesir: majalah Al-Masyrik, 1906) hal.1076
[6] Prof. Dr. H. M. Yunus,SPI, PT Hidakarya Agung, Jakarta, 1989 hal. 53
[7] Prof. Dr. Azyumardi Azra MA, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 1999 hal.81
[8] Prof. Dr. Azumardi Azra MA< Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 1999 hal. 83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar